(Tidak) Mencintai Jakarta


Jakarta itu kotanya macet. Jakarta itu pusatnya polusi. Jakarta itu banyak pemerkosaan. Jakarta itu kota yang isinya orang gak pakai otak nabrakin 9 orang sampai mati. Jakarta. Jakarta yang akhir-akhir ini berubah nama menjadi kota yang seakan tak berisi manusia tapi setan.

Saya sebagai warga asli Jakarta yang telah menetap selama kira-kira 22 tahun merasakan betapa Jakarta membuat penduduknya semakin lama semakin tidak kerasan untuk tinggal. Banyak orang berpikiran untuk tidak menghabiskan hari-harinya di Jakarta. Mereka lebih memilih berlibur ke luar kota dengan alasan paling klise 'penat dengan rutinitas jakarta'. Begitupun saya, kadang saya merasa Jakarta sudah tak layak lagi disebut ibukota dengan segala kesemrawutannya yang berhasil menguras tenaga, pikiran, dan uang hanya karena kemacetan setiap harinya.

Namun, tiba-tiba saya tertohok saat kemarin malam bertemu dengan seorang perempuan muda di dalam TransJakarta dengan membawa banyak tas dan backpack. Dengan lantangnya ia bertanya ke saya "Kita mau kemana?" Aksen yang asing dan bahasa yang aneh buat saya. Setelah beberapa saat bercerita ternyata ia berasal dari Makassar. Pantes ngomongnya aksennya kasar begitu dan kata 'kita' ternyata berarti 'kamu' di Makassar.

Satu hal yang bikin saya tercengang adalah ia ternyata masih 19 tahun dan merantau ke Makassar setelah lulus SMA di 2007 dan ia asli JAKARTA. Saya bertanya "kamu kembali ke Jakarta mau liburan?". Dengan lantangnya dan aksen Makassar kentalnya ia jawab 'Oh tidak, Jakarta itu kota kelahiran saya. Saya rindu dengan Jakarta.' Lambat laun ia bercerita betapa hidupnya sangat menderita harus berjuang kerja di Makassar sebagai kapster salon dengan gaji hanya 600 ribu. Di sana hidup hanya dikosan apa adanya, dengan air yang kotor sampai-sampai ia menunjukkan kulitnya yang menghitam dan bersisik. Saya bertanya lagi, "mengapa dulu memutuskan merantau ke Makassar?". Dia menjawab lagi, "dulu saya bertengkar dengan orang tua, kemudian dia ajak tante tinggal disana. Tapi saya tidak betah lama-lama disana. Saya rindu Jakarta. Jakarta kota kelahiran saya to. Orang tua saya di Jakarta." Saat ia mendengarkan jingle dari Gen Fm yang dipasang di TJ ia berujar lagi 'Nah saya juga kangen Gen FM. Gini- gini saya hapal Gen FM to', I radio. Saya kangen dengar semuanya. Di Makassar tidak ada.'

Ia terus bercerita perjalanannya menggunakan kapal laut demi menuju Jakarta. Kemudian rasa penasaran saya semakin terusik, saya bertanya lagi padanya, “Kamu ke Jakarta mau liburan?”. Lagi-lagi dengan singkat dan lantang ia menjawab, “Oh tidak, saya mau pulang. Jakarta kota kelahiran saya. Saya kangen kota ini. Saya mau menetap disini saja. Makassar bukan kota kelahiran saya to’. Saya tidak betah lama-lama disana.” Kemudian, ia bercerita lagi bahwa di Makassar tidak ada banci atau polisi-polisi di jalan raya seperti kebanyakan di jalanan Jakarta, namun ia tetap merindukan Jakarta dengan air bersihnya, dengan keramaiannya, dengan daerah Cawang tempat ia dibesarkan. Satu hal yang saya tangkap dari caranya bercerita tentang Jakarta ia tidak mengeluhkan tentang jeleknya Jakarta sekalipun. Tidak tentang kemacetannya. Tentang polusinya. Tentang tingkat kriminalitasnya. Ia hanya tahu Jakarta adalah kota kelahirannya dan ia harus pulang. Senyaman apapun di Makassar, ke Jakarta-lah ia harus pulang.

Saya termenung sesaat setelah berpisah dengannya di shelter pemberhentian saya. Mendapati diri saya merasa tidak pernah sekalipun membanggakan kota kelahiran saya, Jakarta. Mungkin sama seperti kalian yang merasa seperti saya di luar sana. Yang pernah kita utarakan kepada penduduk non-Jakarta hanyalah kejelekan-kejelekan Jakarta. Pernah tidak kita menceritakan sisi baik Jakarta, misalnya pariwisatanya, perkembangan positif pembangunan-pembangunannya, organisasi-organisasi kepemudaan aktif didalamnya, atau apapun yang positif. Pernahkah kita sadari bahwa di Jakarta terdapat beragam museum yang menjadi saksi nyata perkembangan dan reformasi Jakarta? Pernahkah kita sadari kita lebih memilih ke mal atau club ketimbang ke museum tersebut dengan alasan kumuh dan nggak jamannya lagi main disana? Pernahkah kita sadari bahwa sejelek-jeleknya sarana dan prasarana TransJakarta, itu masih lebih baik daripada bebrapa sodara-sodara kita di pelosok Kalimantan yang harus menyeberangi sungai dan berbasah-basahan hanya untuk pergi sekolah atau berbelanja ke pasar? Pernahkah kita sadari sejelek-jeleknya koneksi internet atau provider seluler di Jakarta saat hujan atau saat prime time, masih beruntung kita daripada orang-orang di pelosok Indonesia yang bahkan tidak dilewati jaringan provider layanan selular atau koneksi internet. Setidaknya perkembangan informasi bisa dengan mudahnya kita dapatkan. Pernahkah kita bayangkan apa jadinya kalau Jakarta tiba-tiba dihantam tsunami seperti di Aceh? Siapa yang akan memasok bantuan untuk warga Jakarta pada umumnya, sementara biasanya Jakarta-lah yang menjadi pusat bantuan, pusat segala pasokan logistik, untuk membantu segala bencana yang terjadi di pelosok Indonesia.

Jakarta lagi-lagi membuat saya berpikir. Disinilah saya dilahirkan dan dibesarkan. Saya menyaksikan sendiri perkembangan kotanya sejak saya kecil, mulai dari di daerah saya tinggal masih rawa-rawa kini sudah jadi kawasan berikat yang dilalui truk trailer logistic setiap harinya. Saya menyaksikan mulai dari harga minyak tanah Rp700 hingga kini mencapai Rp1.500 per liter. Saya mengalami perubahan moda transportasi mulai dari bus bobrok Jepang hingga ada TransJakarta. Saya menjelajahi pusat perbelanjaan di Jakarta, yang dulu saya hanya tahu Mal Kelapa Gading, kini bahkan ada Senayan City, Gandaria City, Central Park, dan beragam pusat perbelanjaan elit yang memanjakan siapapun yang ingin menghambur-hamburkan uangnya.

Jakarta dibalik daerah pinggiran rel kereta api dan sungainya, dibalik kelamnya dunia malamnya, dibalik lusuhnya museum-museum yang tak terawatnya, tetaplah kota yang tidak pernah tidur. Sebagai warga Jakarta yang mungkin bisa saya lakukan adalah menikmati kehidupan 24 jam yang ada didalamnya. Namun, saya nggak hanya ingin menikmatinya, saya kali ini ingin mengajak diri saya untuk semakin mencintainya, membuat diri saya selalu kangen untuk pulang kesini, seperti perempuan dari Makassar itu yang begitu bangganya menyebut ‘Jakarta kota kelahiran saya!’. Melihat sisi baik Jakarta bukan hanya mengeluhkan kemacetannya. Menelususri museum-museum yang belum pernah saya kunjungi. Menikmati kuliner Betawinya seperti kue Rangi yang selalu saya cari-cari. Menikmati sepinya Jakarta disaat libur long weekend atau menikmati sejuknya udara Jakarta pagi hari sambil bersepedea di car free day. Dan pastinya menularkan semangat cinta Jakarta kepada sesama warga Jakarta. 


Apakah kalian sudah mencintai kota ini? 
Sudahkan menemukan cara untuk mencintai kota ini? 


Mari sama-sama merenung. Jika sudah ketemu jawabannya, mari CINTAI KOTA JAKARTA. Bukan mulai dari orang lain, tapi mulailah dari DIRI KITA SENDIRI.


0 komentar:

Posting Komentar