Kisah Seorang Ibu Tukang Urut dan Rasa Bersyukur

Bicara soal beratnya kehidupan dunia kerja yang akhir-akhir ini sering saya dengar dari teman-teman saya, saya jadi teringat dengan seorang ibu, tepatnya tukang urut dan lulur keliling, yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saya terutama soal memijat dan lulur. Ibu Emi namanya. Beliau berprofesi sebagai tukang urut dan lulur di lingkungan rumah saya, daerah Marunda dan sekitarnya. Beliau menangani pijat dan urut untuk semua umur bahkan melayani pijat untuk bayi, membantu proses ibu melahirkan sampai membantu mengubur ari-ari bayi yang sekarang ini jarang dilakukan oleh kebanyakan pasangan muda yang tidak paham adat istiadat setalah melahirkan. Beliau tidak memiliki tempat khusus untuk melayani orang melainkan dipanggil atau ditelepon oleh orang yang membutuhkan. Dengan peralatan yang seadanya seperti minyak zaitun, lulur atau minyak urut, Bu Emi siap melayani para pelanggannya. Jangan ditanya seperti apa pelayanan yang diberikannya, dijamin memuaskan, pijatannya luar biasa enak dan teknik melulurnya sama seperti di tempat spa dan lulur mahal sekalipun, tapi coba tanyakan berapa penghasilan yang diperolehnya dari lulur dan pijat itu. Ibu Emi hanya mendapatkan paling murah Rp20.000 sekali lulur plus massage dan paling mahal Rp50.000 untuk pijat bayi, pijat ibu hamil, dan membantu proses melahirkan. Ibu Emi tidak pernah sama sekali memasang tarif untuk jasanya, ia hanya berharap ada orang yang baik hati memberikannya pekerjaan dan tambahan untuk keluarganya. Ibu Emi sudah berumur sekitar 60 tahun, dengan suami yang sudah menganggur dan tiga orang anak yang semuanya sudah berkeluarga. Kehidupan mereka pas-pasan, oleh karena itu ibu membantu suaminya sejak tahun 2000 dengan jasa pijat kelilingnya ini. 

Ibu Emi tidak berpikiran kalau jasanya akan semakin terkenal dari mulut ke mulut. Hampir 12 tahun ia memiliki banyak teman dan pelanggan yang memakai jasanya. Yang ia ceritakan pada  saya, ia hanya ingin bekerja membantu suaminya, hitung-hitung menolong orang lain. Tidak peduli berapapun orang memberikan tip padanya, ia selalu berusaha mengikhlaskannya dan tetap mencintai pekerjaannya. Beliau pernah bilang kalau kita ikhlas dengan pekerjaan yang kita jalani, pasti rejeki akan datang dari mana saja walau tidak dalam bentuk uang. Ia begitu semangatnya bercerita pada saya bagaimana dulu seorang artis cantik Bella Saphira, Titi Sandora pernah jadi pelanggan setianya. Dari Bella dan dari orang-orang kaya yang pernah ia layani, ibu pernah menerima rejeki yang melebihi dari uang pijatnya. Pernah dikasih TV, lemari, bantuan makanan, baju dan segala perlengkapan lain yang bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Ibu selalu merasa bahwa Allah terlalu berlebihan memberikan semua itu padanya, padahal dia hanya membantu orang yang sering merasa pegal-pegal dan butuh tetap cantik dengan dilulur. Saya sendiri merasa iba sama beliau. Saya begitu paham profesinya karena setiap kali saya menghubunginya di pagi hari, ia pasti baru bisa kerumah saya di malam hari dengan alasan dia masih melayani pelanggannya mulai dari pijat bayi, mandiin bayi, urut orang disana-sini, dan lain-lain, yang jelas seharian penuh ibu pasti sibuk keliling-keliling menawarkan jasanya pada orang lain. 


Tidak pernah terlihat muka lelah setiap kali ia datang melulur badan saya. Ia malah banyak bercerita tentang kesehariannya. Tentang laki-laki yang hidup bersamanya sampai saat ini. Tentang masa lalunya dan tentang betapa bersyukurnya ia masih diberi pekerjaan. Saya tertegun saat tahu penghasilannya. Saya pun merasa malu karena tiap kali datang saya hanya memberinya upah Rp30.000 dan ia tetap dengan bahagia menerimanya. Saya seperti ditampar tiap kali ibu bercerita seperti itu. Ibu yang kerja keras tiap hari, panas-panasan keliling rumah orang dengan gaji segitu aja bahagianya minta ampun, sedangkan saya dan mungkin pekerja-pekerja lebih beruntung di luar sana yang bisa bekerja di kantor-kantor elit dengan gaji beratus-ratus lipat dari beliau pun masih sering mengeluh tentang betapa kecilnya gaji yang diperoleh. Saya tidak bicara dari sisi keberuntungan ataupun status akademis yang kita peroleh sih, saya ingin bicara secara general dari sisi bagaimana kita menikmati hidup dan pekerjaan yang ada. Pada intinya, kalau melihat dari cerita yang Ibu Emi rasakan, sekeras apapun kehidupan dan pekerjaan kita, harusnya kita tetap menjalaninya. Tetap bersyukur karena masih diberikan kesempatan bekerja sama Allah SWT. Tetap bersyukur dengan gaji yang kita terima dan berhenti mengeluh. Saya pernah mendengar nasihat baik, "Setiap 1 menit mengeluh, kita kehilangan 1 menit kebahagiaan."

Jadi, mari berkaca pada diri sendiri. Sudahkah kita bersyukur dengan pekerjaan yang kita miliki? Sudahkah kita menanamkan ilmu ikhlas dalam menjalankan pekerjaan dan menerima benefit apapun dari perusahaan? Meskipun memang manusia tidak pernah puas. Tapi menurut saya itulah kuasa Allah SWT. Allah pasti menguji kita dengan segala macam cobaan dalam pekerjaan yang membuat kita selalu mengeluh, tapi saya percaya Allah pasti akan memberikan penghargaan dan rezeki yang lebih bagi siapa saja yang mau bersabar dan bersyukur.

Sudahkah kamu bersyukur hari ini? Saya sudah, apalagi barusan dapat makan pizza gratis dari teman yang ulang tahun hehehe....

Have a nice day, pals!

Cheers,
Icha Khairisa

2 komentar:

  1. Very inspiring Cha. I love this post so much :) Thank's for sharing.. Salam buat Bu Emi, gue mau juga dilulur doong hehe..

    BalasHapus
  2. Nengayuu..thanks for reading lhoo...hihi...iya nanti disalamin kalo gw luluran lagi ya...

    BalasHapus